Jumat, 26 November 2021

SLEEP PARALYZED

Penjelasan 12 PM Jam Berapa di Indonesia, 12 PM Jam Berapa WIB, 12.00 PM  Itu Jam 12 Siang Atau Malam - Portal Kudus
 
Aku adalah orang yang berbeda dari yang lain. Mama pernah bilang kepadaku, dulu saat aku kecil aku pernah terjatuh dari tangga, yang menyebabkan diriku harus dilarikan ke rumah sakit. Aku koma beberapa hari, dan aku juga tidak begitu ingat kejadian hari itu. Yang kuingat adalah bau obat-obatan yang sangat menyengat. Setelah beberapa hari masa penyembuhan, aku di perbolehkan keluar dari rumah sakit. Di perjalanan aku melihat raut muka Mamaku masih terlihat gelisah.Aneh. Bukankah seharusnya beliau bahagia, karena anaknya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sampai di rumah aku segera berlari menuju kamarku, namun Mama menghentikanku. "Ingat, jangan berlari nanti kau terjatuh nak!" kata Mama mengingatkan dengan suara lembut sambil meletakkan tangannya di pundakku. Aku mengangguk, menuruti omongan Mama sambil balas menatapnya dengan cengiran khasku. Aku berjalan menuju kamar tidurku. Saat aku membuka pintu kamar bercat putih dengan namaku tergantung di depannya, terlihat kamarku yang menjadi lebih besar dan juga luas. Ada rak buku dimana-mana, tempat melukis, mainan dan beberapa barang elektronik. Aku sangat senang dengan hal itu, tentunya! Apalagi tempat melukis yang sedari dulu ku inginkan. Melukis adalah salah satu hal yang sangat aku gemari, karena aku sangat suka mengimajinasikan sesuatu yang berada dalam pikiranku. Bahkan aku mempunyai teman imajinasiku sendiri. 
 
 ***** 
 
Saat makan malam, mama memberitahu, kalau dengan kamar dan juga semua kebutuhan yang kumiliki sekarang, aku tidak perlu lagi keluar dari rumah. Bahkan tidak perlu pergi ke sekolah. Aku sedikit kecewa, namun aku tidak bisa menolak apalagi membantah apa yang mama katakan. Aku termenung dalam pikiranku, tentang apa yang Mama bicarakan, namun aku lebih memilih melupakannya dengan melukis. Aku percaya bahwa semua yang beliau katakan adalah yang terbaik untuku. Keesokan harinya, aku terbangun dari tidurku. Cahaya yang menerangi seluruh wajahku dan juga suara mama yang membangunkanku. "Nak bangun yuk, sarapan!" kata Mama membangunkanku dengan penuh kesabaran. Aku menggosok-gosok mataku, lalu beranjak bangun dengan kepala terasa nyeri dan juga perasaan yang gelisah, namun ku tahan, karena ini bukanlah hal yang asing bagiku. Kupikir itu hanyalah hal normal yang terjadi saat bangun tidur. Aku berjalan menuju ruang makan dengan Mama berjalan duluan didepanku. Seketika pandanganku berubah menjadi buram. Nafasku terasa bergetar dan Dadaku terasa sesak bercampur nyeri. Seketika semuanya menjadi gelap-gulita seakan mataku buta dan tidak dapat melihat apapun. Hal terakhir yang kudengar sebelum kehilangan kesadaranku adalah, Mama yang panik dan ketakutan seakan melihat hal yang berharga dalam hidupnya menghilang untuk selama-lamanya. Waktu terus berjalan. Sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, aku masih asik dengan dunia mimpi yang memenjarakanku. Tidak memikirkan kenyataan yang menimpaku. Disini, aku asik bermain dan berbicara dengan teman-teman 'imajinasiku'. Setelah aku tidak bersekolah lagi, yang kumiliki hanya Mama dan imajinasiku. Ketika tiba-tiba mereka menghilang dan aku dapat melihat seorang wanita cantik dengan surai panjang tersenyum, melebarkan tangannya padaku. Itulah Mamaku. Aku segera berlari ke arahnya agar dapat membalas pelukan dari beliau, namun di saat tanganku menyentuh kulitnya, seketika dia menghilang bak ditelan oleh bumi. Mataku berlinang air mata. Entah apa yang terjadi padaku. Sebenarnya aku ini kenapa?
 
***** 
 
"Hey, bangun! Bangun!" suara itu terus berdengung di dalam pikiranku seakan menyuruhku untuk terbangun dari dunia mimpi yang menyenangkan, namun juga menyakitkan ini. Perlahan aku membuka mataku, cahaya yang terang mulai menusuk bagian sela-sela iris hitamku. Penglihatanku masih terlihat buram, yang ku tahu, pasti Mama berada di sampingku. Dia tertidur lelap dengan tangannya menggenggam tanganku erat, namun juga terasa lembut. Mama terbangun dan langsung memanggil dokter dengan ekspresi sedikit lega, namun masih terlihat jelas raut panik diwajahnya. Mama berbicara dengan dokter. Tidak terdengar memang, tapi aku tahu kalau aku mungkin tidak baik-baik saja. Aku bertanya pada Mama, tentang hal apa yang barusan beliau bicarakan dengan dokter. Mama berkata bahwa aku baik-baik saja, dengan senyuman melekat di bibirnya. Aku tahu beliau menyembunyikan sesuatu dariku, tapi yang kubisa sekarang hanyalah menurut dan percaya dengan ucapannya. Aku yakin, suatu hari nanti saat waktu yang tepat telah datang, beliau akan memberitahuku yang sebenarnya. Namun kenyataannya tidak. Aku baru menyadarinya. Entah mengapa kejadian ini terus terjadi selama beberapa minggu. Waktu yang sama. Orang yang sama. Tempat yang sama. Bahkan katakata yang sama. Seolah-olah aku terjebak di sebuah lingkaran déjà vu. Kini aku sudah berada di rumah lebih tepatnya kamarku terkunci sendirian. Ya, Mama memang sedang keluar. Karena itulah aku dikunci sendirian di dalam rumah. Aku hanya tinggal berdua dengan Mamaku. Beliau orang yang kuat. Dia membesarkanku seorang diri atau yang kita sebut sebagai single parents. Sejak Mama bilang aku tidak boleh meninggalkan rumah, waktuku hanya ku habisakan dengan melukis. Mungkin sedikit aneh, tapi aku suka berbicara dengan lukisan yang kubuat sendiri. Rasanya seperti nyata. Mereka berbicara denganku. Jika orang lain melihat ini, mungkin mereka akan mengiraku gila. Aku melamun sebentar sambil memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Tiba-tiba lamunanku menjadi buyar karena sesuatu menarik perhatianku. Seekor kucing berjalan melewati jendelaku.Kucing itu berbulu putih seperti kucing pada umumnya, namun yang membedakan adalah corak yang berbentuk seperti orang yang sedang tertidur pulas dengan kedua tangannya sebagai bantalan, serta warna matanya yang berbeda, yang sangat menarik perhatian. Entahlah, corak itu terasa sangat palsu tapi juga nyata. Apakah corak tersebut hanyalah bagian dari imajinasiku? Bahkan kucingnya. Aku terdiam, lalu menarik nafasku dalam-dalam. 
 
***** 
 
"Baiklah, ayo kita lakukan!" kataku dengan nada bersemangat sambil mengangkat kuas yang kini sudah berada di telapak tanganku. Aku mulai dengan cat berwarna muda sebagai sketsa, lalu kutambahkan detail kecil pada sketsa yang kubuat, kudiamkan sampai kering baru kulanjutan dengan line hitamnya. Begitu seterusnya hingga lukisan yang kubuat hampir selesai. Memang perlu waktu lama, tapi kesabaran itulah yang diperlukan saat melukis. Setiap hari yang kulakukan hanya melukis, melukis, dan melukis, dan tentu kejadian dimana aku terjebak pada lingkaran déjà vu itu. Memang tidak aneh jika yang kulakukan hanyalah melukis karena mimpiku memang berada dalam bidang seni atau lebih tepatnya adalah seorang pelukis, Namun lingaran déjà vu inilah yang membuat mimpiku juga terhenti. Mama tidak pernah memperbolehkanku keluar rumah, melihat luasnya dunia yang belum pernah kulihat sebelumnya. Hingga tibalah saat aku beranjak 19 tahun. Aku memberanikan diri untuk keluar dari rumah Akhirnya setelah 10 tahun lebih aku berdiam diri di kamar. Tentu Mama menolak "Tidak! Sampai kapanpun mama tidak akan memperbolehkan kamu keluar dari rumah!" kata Mama sedikit meninggikan suaranya. Ada jejak amarah dan kesedihan di matanya. Seumur hidup, aku tidak pernah melihat beliau marah. Namun tekadku sudah bulat, aku akan keluar dari rumah. Umurku sudah 19 tahun, sudah seharusnya aku memiliki kehidupanku sendiri. Terjadilah sedikit perdebatan di antara aku dan Mama. Aku melangkah terus menuju pintu dan Mama masih mencoba untuk menghentikanku. Dia menarik tanganku, tapi aku mencoba menolaknya dengan selembut mungkin. Tibalah di saat yang paling ku sesali dalam hidupku. Perdebatan Mama dan aku terus berlanjut hingga menuju teras dan jalanan. Tanpa ku sadari, seorang pengendara motor melaju kencang menuju kearahku. Kukira hidupku akan berhenti sampai disini, tapi ternyata tidak. Mama dengan cepat mendorongku. Dia menyelamatkanku, tapi sebagai gantinya dialah yang kehilangan nyawanya. Dadaku terasa seperti tertusuk beribu-ribu pisau. Mataku bersimbah air mata. Rasa tidak percaya dan juga menyesal karena keegoisanku sendiri memenuhi hatiku saat aku mengunjungi pemakaman Mama. Ruangan terasa hampa dengan udara dingin yang menusuk kulitku. Aku berada dalam ruangan Mama yang sangat gelap dan juga sepi. Aku memperhatikan fotoku dengannya saat ulangtahunku yang ke 15 tahun. Mataku yang sembab kembali berlinang air mata. Aku membuka lemarinya, dan melihat ada beberapa surat dari dokter. Suratnya sudah terlihat sangat using. Aku menghapus air mata dengan punggung tanganku, lalu membuka surat itu dan membacanya perlahan-lahan. 
 
*****
 
NARKOLEPSI "Narkolepsi? Aku tidak pernah mendengar nama penyakit seperti itu?!" gumamku. Karena penasaran, aku mencari tau di halaman internet “Merupakan penyakit medis genetik yang menyebabkan penderita tidur secara mendadak dan otot Terasa melemah, akibat penyakit tersebut penderita akan sering berhalusinasi” seketika aku terdiam, berhenti membaca halaman web tersebut. Entah mengapa semua tentang penyakit ini sangat berhubungan dengan lingkaran déjà vu yang selama ini menghantuiku. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku seorang penderita Narkolepsi dan pertama kali aku memiliki penyakit ini bukan akibat insiden jatuh dari tangga 10 tahun yang lalu, tapi memang sudah lama, bahkan sejak aku lahir. Dimana semua yang kuanggap nyata ternyata tidak. Semua hanya halusinasiku semata Aku merasa depresi, bahkan hampir gila rasanya. Awalnya aku berniat mengakhiri hidupku saja, namun sebuah lukisan yang kutemukan di gudang membuatku mengurungkan niatku untuk bunuh diri. Lukisan tersebut adalah lukisan yang pertama kali kuberikan kepada mendiang Mamaku. Aku memeluk lukisan itu dengan erat seraya mengingat Mamaku. Setelah itu, kuputuskan untuk tidak pernah menyerah dan terus berusaha, juga mengembangkan bakatku tersebut. Aku berjanji akan menjadikan peristiwa dan penyesalan ini sebagai motivasi untukku dan untuk orang lain. Mungkin, memang belum ditemukan obat untuk meyembuhkan ku. Tapi apapun penyakit yang aku miliki tidak akan menghalangiku untuk terus bermimpi.

Kadang kenyataan jauh lebih pahit dan kebohongan jauh lebih manis, namun di balik rasa
kepahitan tersebut, ada perjuangan yang harus kita lalui dan kita capai tanpa mengenal kata.
 
Karya Alifah Salsabila Nailatul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar